Kamis, 11 Agustus 2011

Implementasi Strategi (Overview)

Dalam proses manajemen strategi, setelah memformulasikan sebuah strategi yang dianggap tepat dan sesuai dengan kondisi eksternal dan internal, maka tahapan selanjutnya adalah mengimplementasikan strategi tersebut. Pada 1999, Majalah Fortune menyebutkan bahwa kegagalan 70% chief executive officer (CEO) bukan sebagai hasil dari strategi yang buruk, akan tetapi pada eksekusi yang buruk (Niven, 2002, 9). Sebuah studi terhadap 275 manajer portofolio menyatakan bahwa kemampuan mengeksekusi strategi lebih penting dibandingkan kualitas dari strategi itu sendiri (Kaplan & Norton, 2001, 1)
Sebagian besar penelitian berfokus pada analisa dan formulasi strategi sementara implementasi kurang diindahkan. Hal ini disebabkan dengan adanya fakta bahwa implementasi lebih taktikal dan operasional sehingga dapat dikategorikan sebagai disiplin ilmu manajemen yang lain (Harlem, 2002, 17). Meskipun demikian, masih terdapat beberapa ahli yang mencoba mendefinisikan implementasi strategi.
Noble dalam Ikavalko dan Aaltonen (2001, 10) mendefinisikan implementasi strategi sebagai komunikasi, interpretasi, adopsi, dan pengesahan perencanaan strategik. Mereka menambahkan bahwa masalah dalam implementasi strategi dapat meliputi peraturan manajemen yang lemah, kurangnya komunikasi, rendahnya komitmen pada strategi, kesalahpahaman akan strategi, sistem organisasi dan sumber daya yang tidak selaras, lemahnya koordinasi dan tanggung jawab, kapabilitas yang belum mumpuni, dan ketidakmampuan untuk membuat strategi sebagai bagian sehari-hari (Ikavalko dan Aaltonen, 2001, 14). Niven (2002, 9) mengajukan sejumlah hambatan dalam implementasi strategi (gambar).


Hambatan pertama dalam implementasi strategi tercipta ketika organisasi tidak dapat menerjemahkan visi dan strategi mereka ke bentuk yang mudah dimengerti dan dilaksanakan (Kaplan & Norton, 1996, 193). Hal ini akan mengakibatkan mayoritas karyawan, 95%, tidak paham akan strategi organisasi tempat mereka bekerja (Niven, 2002, 9). Bila mereka tidak memiliki visi yang jelas mengenai kemana arah organisasi ke depan dan bagaimana rencana untuk mencapainya, maka akan sulit bagi mereka untuk mengetahui bagaimana sebaiknya mereka berkontribusi dalam pekerjaan mereka sehari-hari. Hal ini menandakan adanya vision barrier.
Hambatan kedua, people barrier, muncul ketika kebutuhan jangka panjang strategi unit bisnis tidak diterjemahkan ke dalam tujuan departemen, tim dan setiap individu (Kaplan & Norton, 1996, 194). Salah satu contoh people barrier adalah adanya fakta bahwa hanya 25% manajer yang insentif mereka terhubung dengan strategi (Niven, 2002, 9). Sebagian besar reward system ditekankan pada pencapaian target finansial jangka pendek, bukan pada inisiatif stratejik jangka panjang. Bila hal tersebut terjadi, maka manajer yang pintar akan berinisiatif untuk melakukan apa saja agar target finansial jangka pendek tersebut tercapai.
Hambatan yang ketiga adalah kegagalan dalam menghubungkan program-program sebagai action plan dan alokasi sumber daya pada prioritas strategik jangka panjang (Kaplan & Norton, 1996, 195). Sebanyak 60% organisasi tidak menghubungkan anggaran pada strategi (Niven, 2002, 10). Pada umumnya organisasi memisahkan antara proses penganggaran dan perencanaan strategik, sehingga anggaran tidak terhubung dengan strategi. Hal ini menciptakan resource barrier dalam pengeksekusian strategi, dan yang terakhir adalah adanya management barrier. Masalahnya adalah secara tradisonal belum ada bahasa yang umum untuk pengkomunikasian strategi. Bila hal tersebut ditambah dengan fokus jangka pendek pada isu-isu operasional, maka tidak mengejutkan bila 85% dari tim eksekutif menghabiskan waktu kurang dari 1 jam tiap bulan mendiskusikan strategi (Niven, 2002, 10). (Ard)
 

2 komentar:

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

untuk penanganan tiap-tiap hambatannya bagaimana gan ?